Langsung ke konten utama

Guru Tendang Murid di Depok, KPAI: Atas Nama Apapun Tidak Dibenarkan






Jakarta - Guru R, penendang 5 murid kelas VI di SDN Durenseribu Komplek Arco Sawangan, Depok dinilai melampaui batas. Komisi Perlindungan Anak Indonesia menilai kekerasan terhadap murid hanya akan melahirkan kekerasan baru di masa datang.

\\\"Kekerasan atas nama apapun tidak dibenarkan, ini menyalahi prinsip pendidikan. Langkah menghukum yang dilakukan oleh guru tersebut justru akan melahirkan kekerasan baru. Peristiwa tersebut juga akan terekam dalam memori anak-anak,\\\" kata Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Asrorun Ni\\\'am Sholeh, kepada detikcom, Senin (11\/1\/2013).

Menurut Sholeh, penegakan hukum di lingkungan sekolah seharusnya berdasar atas kesadaran, bukan dengan memaksakan peraturan dengan hukuman berat kepada pelanggarnya. Sekolah memiliki ororitas tersebut untuk membuat peraturan yang lebih bijak.

\\\"Penegakan tata tertib bisa dengan komitmen petugas dengan lebih edukatif ketimbang langkah kekerasan untuk menegakkan aturan,\\\" tambah Sholeh.

Guru R, menurut Sholeh, seharusnya ditindak karena sudah melanggar kode etik guru. Lembaga penegak kode etik guru bisa difungsikan untuk melakukan penyaran terhadap guru R.

\\\"Guru (R) itu melanggar kode etik sebagai profesi yang memiliki kompetensi profesional yang memenuhi standar tertentu. Juga kompentensi personal dengan kemampuan sebagai pendidik, kemudian kompetensi sosial, 3 kompetensi ini pantauannya dibawah organisasi profesi,\\\" kata Sholeh.

Kekerasan ini bermula saat R menghukum 5 siswa yang telat mengikuti pelajarannya. R kemudian menghukum murid tersebut dengan scot jump, menendang, dan mengeluarkan umpatan. Akibatnya, beberapa murid mengalami luka-luka lebam di kaki.





TANGGAPAN :

Seharusnya seorang guru itu harus bisa dijadikan seorang panutuan siswa. Kekerasan dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan. Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan berbagai landasan dalam pendidikan antara lain, landasan hukum, psikologi, sosial budaya dan filsafat. Hal ini dapat dicegah apabila guru melaksanakan kode etik guru dengan baik.
Diharapkan, dengan penegakan displin di semua unsur, tidak terdengar lagi seorang guru menghukum siswanya dengan kekerasan. Sebab, kalau terbukti melanggar, berarti siap menerima sanksi.
Pendidikan dengan kekerasan hanya akan melahirkan traumatis-traumatis yang berujung pada pembalasan dendam, dan kita semua pasti tidak menghendaki hal demikian terus berlanjut tanpa berkeputusan, kemudian melahirkan generasi-generasi penuh kekerasan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bullying dan Penindasan di Media Sosial

tirto.id  -  Internet melahirkan media sosial di mana setiap orang bisa berbagi, berpendapat, dan menyampaikan ide. Tapi ada sisi gelapnya: perilaku menindas dari internet trolls. Anak-anak dan perempuanlah yang kerap menjadi korban. Pendiri PurpleCode, Dyhta Caturani, menyebut perempuan lebih rentan mengalami  bullying  di media sosial. Mereka kerap direndahkan dengan disertai atribut seksual atau referensi lain dengan tujuan menghina.  "Laki-laki yang diserang ide atau  statement  di mana kita bisa berdebat dengan argumentasi yang sama masuk akal. Sementara perempuan sangat berbeda, yang diserang personal, tubuh," katanya dalam kampanye #PositionOfStrength, seperti dikutip  Antara. Joel Stein menuliskan artikel panjang di  Time  soal mengapa masyarakat modern tunduk pada budaya kebencian di internet. Alih-alih memajukan dan menjadi sarana bertukar informasi yang sehat, internet khususnya media sosial, menjadi tempat untuk saling menghina dan menghancurkan hid

Ini Daftar Pengacara yang Pernah Diproses Hukum Terkait Kasus Korupsi

JAKARTA, KOMPAS.com  — Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada enam pengacara atau advokat yang pernah diproses hukum terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi ataupun suap. Jumlah itu bertambah dengan ditangkapnya seorang pengacara MCB oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis (25/7/2013). Ini enam pengacara tersebut. 1. Haposan Hutagalung, atas dugaan keterlibatan pada kasus Gayus Halomoan Tambunan dan dugaan suap kepada Komisaris Jenderal Susno Duadji saat menjabat Kepala Bareskrim Polri. "Dia sudah divonis Mahkamah Agung 12 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta," ujar peneliti ICW, Emerson Yuntho, melalui rilis yang diterima, Jumat (26/7/2013).  2. Lambertus Palang Ama, dalam dugaan keterlibatan kasus Gayus Halomoan Tambunan tahun 2010. Lambertus telah divonis oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan selama tiga tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta. 3. Ramlan Comel, dalam kasus dugaan korupsi dana  overhead  di perusahaan PT Bumi Si